Jumat, 25 November 2011

IJTIHAD DAN TAQLID

Dalam terminologi yurisprudensi (hukum) Islam, kata Ijtihad dan Taqlid adalah dua kata yang tidak asing dan telah menjadi bahan pembahasan para fuqaha dan ushuliyyun sejak generasi terdahulu sampai sekarang.
Akhir-akhir ini bahasan tentang keduanya mulai marak kembali, khususnya ketika muncul sebuah gerakan yang menamakan dirinya sebagai pengikut Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saaw. Mereka acapkali disebut dengan mujaddidin (kaum pembaharu).

Gerakan mujaddidin menolak segala bentuk taqlid, khususnya kepada para mujtahid yang telah wafat seperti Imam Abu Hanifah (80-150H), Imam Malik Bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-198 H) dan Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H). Kehadiran mereka tidak dapat dipungkiri lagi, bahkan mengundang reaksi yang cukup keras dari kaum taqlidiyyin (para pengikut empat imam mujtahid tersebut).

Letak perbedaan kedua golongan ini, mujaddidin dan taqlidiyyin, sehubungan dengan masalah hukum Islam, adalah kaum mujaddidin berpendapat bahwa umat Islam hanya harus mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh mengikuti selain keduanya. Dengan demikian setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis secara langsung, tidak diperbolehkan mengikuti (taqlid) kepada pendapat ulama.

Sementara kaum taqlidiyyin berpendapat, bahwa sah-sah saja seorang muslim mengikuti pendapat seorang ulama, khususnya para imam mazhab yang empat, karena pendapat mereka tidak lepas dari empat dasar hukum, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Apalagi mereka lebih dekat ke zaman kenabian dari pada umat Islam sekarang ini.

Lebih dari itu kaum taqlidiyyin membatasi ijtihad hanya kepada empat imam mazhab tersebut. Dengan pengertian, setelah keempat mujtahid tersebut tidak ada lagi mujtahid yang lain. Walaupun ada, maka itu hanya sebagai mujtahid fatwa bukan mujtahid mutlak, seperti Imam Nawawi di Mesir dan Imam Rafi’i di Suria.
Jadi satu pihak mewajibkan setiap muslim merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun dengan seperangkat ilmu alat seadanya serta dengan latar belakang pendidikan yang berbeda.

Dengan kata lain, menurut pihak ini setiap muslim harus berijtihad (definisi ijtihad pada keterangan berikut) dan diharamkan taqlid. Sementara di pihak lain menutup pintu ijtihad rapat-rapat, sehingga tidak diperkenankan seseorang setelah empat imam mujtahid untuk berijtihad. Mereka harus mengikuti salah satu dari empat imam mujtahid tersebut.

Definisi Ijtihad Sebelum mendiskusikan masalah ijtihad dan taqlid, terlebih dahulu perlu dijelaskan definisi ijtihad. Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”
Ulama Ahlu Sunnah dan Syi’ah berpendapat, bahwa sumber hukum Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan mereka beranggapan bahwa segala kasus yang dihadapi umat manusia pasti ada penyelesaiannya dalam Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) baik secara langsung atau tidak dan kaum muslimin wajib merujuk dan mengikuti keduanya.

Yang menjadi masalah, apakah setiap orang muslim dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Sunnah, atau lebih dari itu apakah setiap muslim mampu bahkan harus mengambil hukum langsung dari keduanya ?
Oleh karena masalah ijtihad adalah masalah bakat (malakah) yang ada pada seseorang, yang dengannya dia mampu menarik hukum (istinbath) dari sumber-sumbernya (Kitab Rasail, karya Imam Khumainy), maka tidak realistis kalau setiap muslim harus berijtihad. Karena setiap orang mempunyai bakat dan kecenderungan yang berbeda-beda.

Sangat tidak realistis seseorang yang sibuk dengan keahliannya dalam bidangnya seperti dokter, insinyur dan lainnya dituntut untuk berijtihad. Demikian pula seorang buruh yang bersusah payah membanting tulang untuk mencari nafkah seharian penuh, dituntut berijtihad.

Oleh karena itu, ijtihad tidak diharuskan atas setiap muslim. Akan tetapi, seseorang yang mempunyai bakat dan kemampuan karena penguasaannya terhadap beberapa disiplin ilmu, wajib berijtihad dan tidak boleh taqlid.

Jadi, ijtihad tidak harus dilaksanakan oleh setiap muslim dan juga tidak terbatas pada beberapa orang saja. Ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang yang berbakat dan mempunyai kemampuan. Persepsi ini, barangkali bisa menjadi jembatan dan penengah antara kaum mujaddidin dan kaum taqlidiyyin.

Memang, untuk menjadi mujtahid tidaklah mudah. Ayatullah Muthahhari, seorang mujtahid juga filosof menyebutkan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid, antara lain :

1. Bahasa Arab
Mencakup nahwu, sharaf, ma’ani, bayan dan badi. Karena sumber rujukan hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab. Tanpa menguasai bahasa Arab dengan baik, seseorang sulit untuk memahami keduanya dengan baik.

2. Tafsir Al-Qur’an
3. Ilmu Manthiq atau logika
Ilmu ini membahas tentang bagaimana cara berpikir logis dan berargumentasi yang tepat. Oleh karenanya, seorang mujtahid harus menguasainya agar dia dalam menginterpretasikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan argumentasi yang tepat dan logis.

4. Ilmu Hadist
Seorang mujtahid harus menguasai benar hadis, asbabul wurud (konteksnya), pembagian-pembagiannya dan macam-macamnya.

5. Ilmu Rijal
Yaitu ilmu tentang perawi hadis. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang biografi setiap perawi hadis sebelum mengkaji tentang matan hadis. Karena pengetahuan tentang ilmu ini akan menentukan kedudukan hadis dan akan mempengaruhi validitas hukum yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid dari suatu hadis.

6. Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu yang membahas tentang cara mengintrepretasikan hukum (dustur istinbath). Ilmu ini menggunakan peranan dari setiap disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam istinbath (kitab al-Halaqat, karya Ayatullah Muhammad Baqir Shadr).

Banyak bahasan yang tercakup dalam ilmu ini, misalnya apakah setiap kata kerja perintah (fi’il amr) mengandung arti wajib (al-wujub) atau tidak ? kalau tidak mengapa dan kapan ? atau misalnya bahasan tentang hujiyyah dhawahir yang ringkasnya apakah pemahaman secara lahiriah seorang mujtahid tentang sebuah ayat atau hadis itu (berstatus) hujjah atau tidak dan bahasan lainnya.

Enam disiplin ilmu tersebut dapat dikuasai oleh siapa saja, sehingga tidak ada pembatasan jumlah mujtahid, tapi pada waktu yang sama keharusan menguasai enam disiplin ilmu tersebut membatasi orang-orang agar tidak menganggap enteng berijtihad (merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah) hanya dengan bermodalkan bahasa Arab yang ala kadarnya atau tanggung, apalagi hanya mengandalkan terjemahan belaka.

Bolehkah bertaqlid ?
Taqlid adalah beramal atas dasar fatwa seorang faqih / mujtahid (Lihat kitab Tahrir al-Wasilah, karya Imam Khumainy).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak semua orang muslim mampu merujuk kepada keduanya secara langsung (berijtihad) karena enam persyaratan tersebut, maka bagi yang tidak mampu diperkenankan bertaqlid.

Kata-kata taqlid bagi sementara kaum muslimin adalah kata yang berkonotasi negatif. Bahkan sebagian ada yang mengharamkannya. Padahal masalah taqlid adalah sesuatu yang lumrah, wajar dan logis terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kehidupan sosial umat manusia tegak atas dasar taqlid, karena taqlid tidak lain dari perbuatan seseorang yang tidak tahu merujuk kepada yang tahu dalam segala urusan. Misalnya seorang yang sakit merujuk kepada Dokter sebagai ahli kesehatan, seorang ulama meminta bantuan seorang insinyur ketika hendak membangun masjid dan pesantren dan sebagainya.

Setiap orang yang tidak tahu dalam satu masalah atau urusan pasti merujuk kepada yang ahli dalam masalah dan urusan tersebut. Itulah yang dinamakan taqlid. Dalam hal ini tidak ada yang menganggap taqlid itu tidak baik.

Demikian halnya dalam masalah syariat atau hukum (baca, fiqih), tidak semua orang mampu mengambilnya langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena pengambilan langsung dari keduanya bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi perlu ada spesialisasi. Nah, orang yang awam tentang syariat, baik itu pedagang, petani, kaum intelek dan lainnya yang tidak membidangi syariat secara khusus, mau tidak mau mereka harus merujuk kepada orang yang ahli dalam masalah syariat. Alasan ini dalam istilah para ushuliyyun dan fuqaha disebut al-uruf al-uqala’i.

Disamping itu ada beberapa ayat yang oleh sebagian ulama dijadikan dalil tentang diperbolehkannya taqlid dalam urusan syari’at, antara lain :

1. Surat At-Taubah ayat 122
“Tidak sepatutnya bagi semua orang mukmin pergi (berjihad). Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk tafaqquh (belajar secara mendalam) dalam urusan agama. Dan (setelah itu) mereka hendaknya memberi peringatan kepada kaumnya kalau kembali kepada mereka, agar mereka dapat menjaga diri mereka.”"
Ayat ini secara implisit menyatakan, bahwa kewajiban orang yang tidak bertafaqquh untuk mengikuti dan menerima keterangan orang-orang yang bertafaqquh.

2.Surat Al-Anbiya ayat 70
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir, jika kalian tidak mengetahui.”
Ayat ini mengandung arti yang umum, karena ahli dzikir dapat diartikan sebagai ahli kitab, jika yang menjadi mukhatab (obyek) adalah kaum musyrikin dan juga dapat diartikan sebagai para imam atau ulama (ketika tidak ada imam) kalau yang menjadi mukhatab adalah umat Islam. Berdasarkan pengertian kedua, ketika Allah menyuruh umat Islam bertanya kepada para imam dan ulama, berarti mereka harus menerima jawaban yang diberikan oleh mereka.

Kesimpulan
Dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, secara garis besar terdapat dua cara, pertama ijtihad dan kedua taqlid. Keduanya dibenarkan dan berlaku untuk seluruh kaum muslimin.

0 komentar: